Mau
sedikit curhat donk. Tentang saya yang sudah stay hampir setaun di Jogjakarta. Pasti
pada setuju donk klo Jogja itu keren banget buat tempat wisata, klasik-klasik
unyu gmn gt.
Tapiiii… bukan itu yang mau saya bahas, tapi kehidupan mahasiswa/inya disini. Di
sini, di Jogjakarta saya banyak menemukan hal yang tidak klop dengan hati saya
masalah pergaulan. Tentunya saya ga bisa mengeneralisir kalo ini hanya terjadi
di Jogja saja, sepertinya di setiap kota juga ada *namun saya berharap tidak
terjadi di banyak kota*. Saya yang awalnya tinggal di Bandung dan ditempatkan
di kampus yang dekat dengan pesantren *Pesantren DT Aa Gym* membawa saya untuk
belajar banyak tentang islam, juga keaktifan saya di lingkungan islami salman
ITB membuat saya sedikit-banyak tau, mana yang seharusnya di kerjakan dan mana
yang tidak, tentunya menurut pandangan agama. Tapi di sini tidak sama sekali. Namun
saya yakin ini bagian dari rencana Allah, gimana caranya saya tetap bertahan
dengan keyakinan dan pemahaman-pemahaman yang sudah tertanam sebelumnya *insya
Allah yang sesuai dengan ajaran Islam*. Langsung aja, yang bikin saya terkaget-kaget
disini adalah, temen-temen perempuan saya yang rata-rata mereka punya pacar
sering menghabiskan seharian dengan pacarnya, bahkan lebih dari sehari, dua
hari (menginap), ada pula yang mematikan lampu kamar ketika pacarnya datang, meski
pintu tetap dibuka (sedikit). Ada yang pasti mandi kalo pacarnya mau datang
atau bahkan mandi pas pacarnya datang. Yang bikin saya bertanya-tanya dia
keluar kamar mandi masih pake handuk dan masuk ke kamar *yang ada pacarnya
didalam* terus keluar sudah berpakaian rapih *ganti bajunya gimana coba?*.Ada
yang ga malu-malu cerita kalo abis nginep di hotel sama pacarnya. Dia sampe tau
harga hotel ini dan hotel itu per-malamnya berapa. Ada yang ngebantuin pacarnya sampe bela-belain
nginep di kosan pacarnya. Ada yang nginep di keluarga si pacar tanpa ngasih tau
orang tuanya. Dan menurut saya, itu sangat2 menyedihkan. Lagi, ada yang ketika
di ajak kajian agama langsung nolak dan menyatakan ke-ogah-an nya, semacam ‘ya
ampun, plis deh’, tapi giliran di ajak ke night club atau diskusi pemikir2 atau
filsuf2 jaman dulu langsung semangat 45. Ada yang lebih menghormati dosen
bicara daripada mengingatkan dosen kalo waktu sholat sebentar lagi habis,
padahal dirinya belum sholat, semacam ilmu dari dosen lebih penting ketimbang
sholat yang mungkin ga nyampe 5 menit. Di sini mengerikan! Saya setuju dengan
image yang sudah ada sebelumnya, Jogja itu sangat terbuka untuk hal-hal seperti
ini. Jogja lebih parah dari Bandung, itu kata sebagian orang yang pernah saya
dengar. Dan saya, setuju.
Aaahh,,
saya ga berani bilang apa-apa sama mereka. Maaf kalo sedikit terkesan belagu
atau sok suci karena ngebahas tentang ini. Tapi ya ampun, saya kasihan sama
orang tuanya yang nanti bakal dimintai pertanggungjawaban tentang anaknya, saya
kasian kalo nanti ujung-ujungnya mereka putus *ga jadi nikah sama pasangannya*.
Lalu kenapa ga nikah aja sih? Mereka bilang belum siap, masih ingin ini, masih
ingin itu. Tapi kan, sebagai muslim seharusnya mereka paham, dengan menikah
semuanya akan jadi ibadah, bahkan malaikat bershalawat untuk itu. Ops.. bukan
seharusnya, karena mereka pula yang menentukan, ingin mempelajari islam atau
tidak.
Apapun,
saya berterima kasih pada Allah yang telah ‘menempatkan’ saya di lingkungan DT
sebelumnya untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya sebelum terjun ditempat yang jauh
berbeda. Juga orang tua saya, mereka mengajarkan saya untuk cinta Allah, ada
Allah yang melihat segala macam apa yang kita kerjakan. Dan kakak, dia yang
mengajarkan saya agama, luar biasa. Terima kasih atas kepercayaannya pada saya,
saya diizinkan untuk mengenal dunia *kok jadi kayak bagian ucapan terima kasih
di skripsi ya*. Anyway, siapkan bekal kalo mau tinggal di tempat yang kamu
belum tau sama sekali! Tentunya bekal yang baik, agama. Your life is yours and
my life is mine. Ini cuma curhatan saya, semoga bermanfaat.
Jogja, 10 June 13
10.17 AM