Mungkin akan seperti itulah rasanya nafas terakhir. Kamar Maria Nomor 6, udaranya sangat pengap. Seharusnya ada penyejuk udara untuk kamar yang dihuni 3 orang dan dikunjungi lebih dari 5 orang. Seharusnya mereka yang terbaring merasa nyaman, bukan kepanasan kalang kabut. Ah, aneh.
Tidak jauh dari pintu utama, saya pun bertemu teman saya yang tidak merasa lemah, tidak merasa sakit, tapi harus terbaring dan dibaringi dengan paksa, DBD. Ha, terdengar lucu bukan. Saya menemani untuk beberapa jam sampai keluarganya datang. Satu jam, biasa. Dua Jam, tak ada yang aneh, masih bercanda dan tertawa. Tiga jam, mulai sedikit terasa aneh.
Di jam ketiga saya ambil tas dan memutuskan pulang. Tiba-tiba semuanya berkunang, lemas, panas, tapi sangat dingin. Aku katakana sangat dingin, menggigil. Dengan pelan kuraih bangku hijau panjang rumah sakit itu, duduk, lemas, yang saya ingat adalah mamah. Ingin bersama mamah. Tak lama teman saya lewat, tangan pun saya lambaikan “tolong, dingin sekali”, ucap saya lirih. Tak mendengar, ia mendekat. Tak ada sedikitpun sisa tenaga, saya rebahkan kepala di pangkuannya. Lemas, dingin, sangat dingin, tidak jelas namun tetap sadar. Satu menit, lima menit, tujuh menit, sepuluh menit. Di menit kesepuluh darah terasa mengalir kembali dan tubuh mulai terasa hangat perlahan, dari kepala, menyusup wajah lalu menelusuri setiap bagian tubuh.
“Alhamdulillah”, teriaknya. “Kenapa?”, “Alhamdulillah sepertinya membaik, sudah tidak pucat lagi”, “kenapa?”. “Apanya yang kenapa? Kamu pucat tadi, seperti mayat, persis seperti mayat, masih bilang kenapa? Saya telepon taksi.
Semuanya begitu cepat, sehat, tiba-tiba sakit, sehat kembali. Semuanya misteri. Mungkin saya sok tahu, tapi saya berpikir “seperti itukah nanti, saat kita nafas mulai diambil, saat sakaratul maut?”
Kamar maria nomer enam lantai dua, pukul delapan malam.
3 Juni 2011 08.41 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar