Ia menjerit. Berteriak. Kemudian menenangkan dirinya sendiri.
Ia menangis. Menutup wajahnya. Mundur menjauh.
Ia bergetar. Memeluk lututnya. Dan masih menangis.
Ayah dari anak perempuan mungil itu mengundangku untuk datang ke rumahnya. Memintaku untuk menemani putrinya. Undangannya sebagai teman; sebagai yang mencintai anak-anak tanpa batas. Ibunya sudah terlalu lelah. Lelahnya sampai mampu menutup telinganya. Anaknya menjerit di luar sana, ibunya tetap bermimpi di ruang tidurnya. Entah bermimpi tentang apa. Mungkin bermimpi tidak mempunyai anak perempuan yang 'sakit'.
Kamar Lea cukup besar dan terbilang sangat nyaman. Seharusnya. Saya yakin benar setiap dari kalian yang mengunjungi rumah dan kamar Lea tak ingin pulang. Lantai kamarnya bukan dari keramik kebanyakan. Namun lantai sederhana abu-abu. Kami menyebutnya tehel. Dingin. Sejuk. Meski ada satu AC di ruangannya, kurasa AC itu tidak begitu dibutuhkan. Persis dibelakang dan di sebrang tempat tidur Lea ada jendela dengan dua pintu. Ketika kamu membukanya, kamu akan melihat indahnya taman depan rumah Lea dan mendengar gemericik air dari kolam di halaman belakang. Rindang nan cantik.
Saya dan Lea berbincang asyik. Sampai tak terasa nenek Lea memanggil kami untuk makan malam. Oia, selain Ibu dan Ayah Lea, di rumah juga ada nenek Lea. Nenek sekaligus Ibu. Karena Ibunya bukan sepenuhnya Ibu. Kerja, pulang, tidur. Sesekali menenangkan Lea. Sesekali. Itupun kalau terbangun dan rela mengangkat tubuhnya yang letih.
Kami makan. Ayah Lea, Nenek Lea, Aku , dan tentunya Lea. Ibunya sempat duduk bersama kami di ruang makan. Tapi tak lama kemudian masuk ke kamarnya. Sembari menikmati Ikan bakar bikinan Nenek, kami pun membicarakan tentang rencana kami, yakni Lea untuk sementara akan tinggal denganku, di rumahku yang hanya ada Ibu dan adik laki-lakiku. Rencananya selepas makan malam, Lea akan mengemas pakaiannya untuk beberapa hari. Lea terlihat senang akan menghabiskan beberapa malam di rumahku yang jauh lebih kecil daripada rumahnya.
Aku pamit izin ke kamar mandi. Sebenarnya sudah dari tadi aku menahan untuk buang air kecil. Bingung memotong pembicaraan kami, apalagi Lea yang terlihat begitu antusias. Lea juga yang memutuskan untuk segera pergi malam ini. Tak usah menunggu hingga matahari kembali terbit. Baru beberapa detik aku di kamar mandi, aku mendengar teriakan Lea. Begitu kencang. Begitu kuat. Aku dapat mendengar dengan jelas jeritnya yang penuh dengan ketakutan. Dan tentu saja, ia menangis. Sialnya, aku belum bisa keluar dari kamar mandi. Aku bergegas secepat mungkin. Aku harus keluar menemui Lea.
Pintu kamar mandi kubuka dan langsung ku berlari ke arah teriakan Lea. Di dapur. Lea menutup matanya, menangis, berteriak, memeluk lutut di pojok ruangan itu. Ayahnya memeluk erat Lea. Begitupun neneknya. Aku mendekati Lea sambil melihat-lihat sekeliling ruangan. Dia, Lea. Hidupnya dari kecil sangat menyedihkan. Kemampuan lebih yang tidak pernah ia minta: Ia bisa melihat makhluk dari dunia sana. Hanya Lea yang bisa melihat makhluk itu. Hanya Lea yang tahu bagaimana menyeramkannya makhluk itu. Hanya Lea yang bisa mendengar apa yang makhluk itu katakan. Hanya Lea. Aku harus membawa Lea pergi sesegera mungkin. Tunggu. Ternyata benar. Lelahnya membuat ia menjadi tuli. Iya, ibunya Lea masih tidur di kamarnya. Aku bisa melihat tubuhnya terbaring di selimuti hangatnya selimut berwarna emas.
Damn!
Lea. Ia menenangkan dirinya "Lea gapapa, Yah. Nek, Lea gapapa. Yah, Lea mau pergi." Kemudian ia memberanikan diri berbicara dengan makhluk itu "Pergi. Lea mohon pergi. Lea sudah sholat. Lea ga mau lihat. Jangan ganggu Lea."
Tuhan. Kasihan Lea. Aku harus apa?
Ia. Dia Lea. Dua belas tahun. Siswi kelas satu Sekolah Menengah Pertama.
Ia. Dia Lea. Menangis karena kelebihan yang tidak pernah ia inginkan.
Ia. Dia Lea. Yang mencintai Ayahnya lebih dari apapun.
Tuhan. Apakah aku 'sakit'?
Seoul. 14.10.14 00.59 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar