Menikah itu penjara.
Penjara berarti ketika diri dibatasi besi kecil
panjang-panjang. Ketika tak ada lagi pintu untuk bermain-main diluar sana.
Menikah layaknya penjara untuk beberapa kebebasan diri.
Satu hal yang masih aku ‘takuti’ dari sebuah pernikahan
adalah berkurangnya kebebasan untuk berekspresi sesuai kata hati atau bahkan
mungkin hilang. Semuanya harus melalui prosedur perizinan pasangan. Bukan
akibat kubilang, tapi sebuah konsekwensi lebih tepatnya, mungkin. Gambarlah sebuah
posisi istri sekaligus ibu. Ditambah jabatan sebagai wanita yang bekerja
sebagai pilihannya untuk aktualisasi diri dan pengamalan ilmu semasa
pendidikan, atau singkatnya mungkin mewujudkan mimpi orang tua dan diri. Tak
ada lagi pergi bersama teman. Tak bisa lagi hangout sendiri malam hari
di mall atau sekedar ngopi dan sedikit berfantasi liar. Tak ada lagi menikmati
malam-malam sendiri dan berkencan dengan laptop dan teman-temannya. Mereka
bilang berdua lebih baik. Tapi ada kalanya sendiri itu penting. Kesimpulannya, kurasa
semestinya tetap ada waktu dimana ia, perempuan, untuk menarik napas dan sedikit
melepas letihnya. Kembali lagi mungkin, ‘suruh siapa kerja? Suruh siapa nikah?’.
What the hell!
Tidak sedikit status facebook seorang ibu muda yang mengeluh
ini-itu; tidak sedikit juga obrolan yang mampir di telinga ini tentang kekangan
pasangan. Membuat saya mengambil kesimpulan pertanyaan yang mungkin terlalu
dini: apakah menikah sebuah penjara?
Namun menikah di usia yang tak lagi muda juga menjadi sebuah
gunjingan. Ah, kenapa wanita selalu menjadi objek gunjingan.
Menikah itu kebebasan.
Ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan sebelum menikah. Bisa
sebenarnya, hanya saja tak sesuai etika, moral, dan aturan agama. Sebut saja
berseksualitas. Hah! Benarkah seperti itu aku harus membahasakannya? Tentunya
dengan pasangan yang sah dimata hukum dan agama. Haha.. Selain itu, apa lagi
kebebasannya? Hmm.. bantu aku. Kenapa yang terpikir hanya seksualitas. Mungkin
karena kelas seksualitas yang saya ikuti setiap minggunya. Dan obrolan seputar
teman kampus yang tidak jauh dari seksualitas ^^v
Ah, entahlah. Bagaimanapun, melangkah atau diam dan berdiri
di tempat adalah pilihan. Tentunya aku berposisi, penjara atau kebebasan, aku
tetap akan menikah. Begitu mungkin.
Sudah lama ingin menulis ini. Baru saat ini, dari sebuah sms
teman yang tidak dizinkan pergi dengan temannya karena calon pasangannya tak
mengizinkan ia pergi walau sekedar mengunjungi teman lamanya, seorang calon.
Selamat Tahun Baru ^^ Semoga tahun ini, tahun depan, dan tahun-tahun selanjutnya adalah tahunmu dan tahunku.
Jogja, 31 Des '12
05.34 PM
Pernikahan, seperti banyak hal lain dalam hidup, bisa jadi penjara sekaligus pembebas. Oksimoron memang, tapi itu yang kuyakini. Sebab, aku percaya bahwa makna berasal dari dirimu sendiri. Yang pasti, pernikahan adalah sebuah komitmen untuk saling menjaga dan membahagiakan. Makna pernikahan akan tergantung pada bagaimana kau memulai (dan apa isi) komitmen itu. Yang aku yakini (dan alami) adalah kebahagiaan pribadi yang kau relakan pergi atas nama komitmen akan tergantikan oleh kebahagiaan bersama. Dan bagiku, yang adalah makhluk sederhana, melihatnya bahagia sudah cukup untuk membahagiakanku. Demikianlah pernikahan menjadi pembebas bagiku, sebab sejatinya bukankah kita mencari bahagia? :)
BalasHapus