19 Agustus 2018

Sekolah Dasar Jaman Saya

Karena kita tidak sempurna,

Terima kasih kepada sahabat yang baru saja menelpon dan menceritakan kekhawatiran tentang anaknya. Terima kasih karenanya, saya ada bahan untuk menulis ^^

Saya merasakan bagaimana tertekannya ketika duduk di sekolah dasar. Bayangkan, baru tingkat sekolah dasar tapi sudah tertekan- bukan satu hal, tapi banyak hal. Dan kini, anak dari sahabat saya sekolah di tempat yang sama dengan saya dulu hihihi ^^ 

Jadi, sekolah itu ada sekolah negeri favorite di kota saya. Hampir tiap tahun, nilai NEM (Nilai Ebtanas Murni, istilah jaman dulu) atau ujian nasional (istilah jaman sekarang, ya kan?) tertinggi selalu di raih oleh siswa dan siswi dari SD ini. Bukan hanya juara 1, terkadang seringnya juara 2 dan 3 di raih oleh siswa-siswi sekolah ini. 

Tentunya ini sebuah keberhasilan. Dari sinilah, orang tua berbondong-bondong ingin memasukan anaknya ke sekolah ini. Banyak yang diterima, namun banyak juga yang ditolak karena kuota dan kemampuan anak yang dirasa kurang. Definisi berhasil saat itu adalah ketika siswa berhasil menjadi juara dengan nilai yang tinggi. Dan mungkin, definisi itu belum bergeser dan masih berlaku saat ini. Tapi tahukah kalian, bahwa sejumlah anak menderita dengan mimpi-mimpi yang kalian ciptakan dengan egois, wahai para orang tua. 

Izinkan saya bercerita tentang kisah saya di sekolah elit dan favorite ini. Saya sebut elit karena sekolah ini sekolahnya orang kaya- semua orangtuanya berduit. Mudah rasanya untuk sekolah mengumpulkan sumbangan-sumbangan untuk kegiatan ini itu dan pembanunan ini itu. Yang saya ingat, banyak teman sekelas saya yang membawa mainan bagus ke sekolah. Mainan yang harganya fantastik. Ga sedikit mainan-mainan itu dibeli dari luar negeri. Ingat saya, saya ga pernah punya mainan itu. Mau pinjem aja rasanya takut. Takut lecet dan ga bisa ganti. Sembilan puluh lima persen anak yang sekolah disitu dijemput dengan supir pribadi atau paling tidak ikut mobil jemputan. Ingat saya, saya selalu naik angkot yang harus jalan dulu ke pangakalan- kadang di jemput mamah naik motor honda 70 warna merah :)

Saat istirahat, anak-anak orang kaya itu bawa bekal makanannya sendiri dengan kotak makan yang bagus. Ingat saya, saat jam istirahat saya mengeluarkan plastik hitam yang isinya cemilan-cemilan untuk di jual. Beberapa cemilan saya (dan keluarga) bungkus satu-satu malam harinya. Perbedaan ekonomi jadi salah satu tekanan. Iri rasanya. Kapan bisa punya mainan bagus, kapan bisa naik mobil bagus, kapan bisa bawa bekel pake tempat makan bagus, kapan punya sepatu bagus. (Kok ya jadi sedih nulisnya TT). Lalu, mereka yang berkecukupan kebanyakan ikut kelas tambahan, yang artinya punya kesempatan lebih untuk belajar. 

Hal lain yang saya ingat, buku-buku yang buanyak dan berat. Ngeri ngebayanginnya- kalau boleh lebay, mungkin pundak saya sedikit bungkuk saat ini akibat buku-buku itu. Lalu teman-teman saya? kebanyakan dari teman-teman saya memakai tas yang ada roda nya. Udah pakai roda, dibawain pula oleh supir pribadi nya atau supir jemputan. Tas saya dulu, tas biasa yang magnet kaitannya rusak. Hihihi... sedih. 

Dan situasi seperti ini konon katanya masih berlangsung sampai saat ini dan lebih mengerikan lagi. Tidak jarang pembelajaran menggunakan laptop. Anak-anak bawa laptop ke sekolah. Iyes kalau orang tua mereka mampu- kalau engga? Belum lagi pelajaran yang lebih sulit kalau dibanding sekolah lain. Bagus siih- tapi anak-anak jadi terbebani yang efeknya si anak harus ikut les sana-sini biar ga ketinggalan. Dan ini terjadi pada anak sahabat saya. Mendengar ceritanya membuat saya teringat masa lalu hihihi.. masih aja ya. Pernah teman saya tanya soal matematika ke saya, soal anak kelas 4 SD. Susah, saya nyerah. Saya kasih adik saya yang jago itung-itungan. Dia bingung. Saya kasih teman saya, dosen matematika. Dia butuh waktu untuk mengerjakannya. Hahaha.. bayangkan sodara-sodara betapa stressnya anak. Sekolah mulai jam 6 pagi, selesai jam 2 siang. Istirahat satu jam, kemudian mereka harus les lagi sampai jam 5 sore. Pulang ke rumah, mandi, ngaji, makan, ngerjain PR. Aktivitas berulang dari senin-sabtu.

Btw, saya sekolah di sekolah elit ini dari kelas 3-6. Sebelumnya saya sekolah di sekolah lain, dimana kebanyakan anaknya pakai plastik supermarket buat tas sekolahnya. Saya ngalamin juga pakai kresek buat tas sekolah (klo ga salah, lupa-lupa inget). Tapi it was fun, semua pakai kresek, pulang bareng jalan kaki. Ga ada gap ekonomi. 

Saya belum jadi orang tua, tapi saya pernah jadi guru. Saya tau hal-hal seperti ini mengambil waktu main mereka sebagai anak-anak. Belum lagi ketika metode pengajarannya membosankan. 

Di sini tugas orang tua. Please, jangan buat anak-anak kalian stress dan tertekan dengan mimpi-mimpi egois kalian. Ajak anak bicara, apa yang mereka mau, apa yang membuat mereka senang. Tugas kita mengarahkan, menemani, bukan memaksa. Peace!

Dan teman saya kini khawatir, sering nangis mikirin anaknya yang masih susah ngikutin. Anaknya kelas satu SD. Ketika ia bandingkan materi pembelajaran dengan SD lain. Wow! Jauh berbeda, jauh lebih sulit. Menurut ceritanya, banyak anak yang nangis di kelas karena ga bisa ngerjain soal. Banyak juga anak yang bengong liat papan tulis dan buku. Bingung harus ngerjain apa. Apa yang kamu pikirkan dengan kondisi yang seperti ini? Sedih siihh saya mah TT

Hahaha.. maafkan tulisan yang tidak terstruktur ini. 

Semangat nemenin anak menghadapi dunia yang luar biasa ini!
Semoga saya cepet punya anak! Aamiin!

Ilsa, 19.08.2018   09.57 PM

1 komentar:

  1. ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000 :d
    dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
    segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q :-*

    BalasHapus